LSM PENJARA 1 Desak Hukuman Mati bagi Koruptor Minyak Rp193 Triliun: “Kejahatan di Tengah Pandemi adalah Kejahatan Kemanusiaan!

republikNews.com,- Jakarta, 15 Maret 2025 – Skandal mega korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina yang terjadi selama periode 2018-2023 semakin menunjukkan betapa buruknya pengelolaan sumber daya negara. Tidak hanya merugikan keuangan negara hingga Rp193,7 triliun per-tahun, kejahatan ini dilakukan di tengah kondisi pandemi COVID-19, sebuah keadaan yang seharusnya menjadi momentum bagi seluruh elemen bangsa untuk bergotong royong menyelamatkan ekonomi negara.

Ketua Umum LSM PENJARA 1, Teuku Z. Arifin, dengan tegas mengecam tindakan korupsi yang terjadi di tubuh BUMN strategis ini. “Korupsi yang terjadi di Pertamina ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap negara dan rakyat. Ini bukan sekadar tindak pidana biasa, tetapi kejahatan luar biasa yang dilakukan saat bangsa ini berjuang menghadapi pandemi! Pelakunya harus ditindak dengan hukuman yang setimpal, bahkan hukuman mati sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Kerugian Negara yang Fantastis
Menurut Kejaksaan Agung, skandal ini melibatkan sembilan orang tersangka, termasuk pejabat tinggi PT Pertamina Patra Niaga, PT Kilang Pertamina Internasional, dan perusahaan swasta yang berkonspirasi dalam tata kelola minyak. Modus operandi yang digunakan mulai dari pengoplosan BBM hingga praktik impor minyak yang merugikan negara. Kerugian yang mencapai ratusan triliun rupiah ini membuktikan bahwa praktik korupsi di sektor energi masih berlangsung secara sistematis.

Landasan Hukum dan Ancaman Hukuman Mati
Tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian negara dalam jumlah besar memiliki konsekuensi hukum yang berat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, ancaman hukuman mati dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi dalam keadaan tertentu.

Secara spesifik, Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor menyebutkan: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.” Keadaan tertentu yang dimaksud dalam penjelasan undang-undang ini mencakup situasi krisis ekonomi dan bencana nasional, yang dalam kasus ini, adalah pandemi COVID-19. Dengan demikian, hukuman mati bagi para pelaku korupsi dalam kasus Pertamina bukan sekadar wacana, melainkan langkah hukum yang sah dan harus diterapkan guna menimbulkan efek jera.

Selain itu, Pasal 18 UU Tipikor juga memungkinkan penyitaan aset untuk mengganti kerugian negara, sementara Pasal 55 KUHP dapat menjerat pihak yang turut serta dalam tindak pidana ini.

Tidak Ada Ruang bagi Koruptor di Indonesia
Ketua Umum LSM PENJARA 1 menegaskan bahwa lembaga yang ia pimpin akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas. “Negara tidak boleh lemah dalam menghadapi koruptor, apalagi yang melakukan kejahatan di tengah penderitaan rakyat akibat pandemi. Ini adalah momen bagi pemerintah dan aparat hukum untuk menunjukkan keberpihakan kepada rakyat dengan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya,” tambahnya.

Dengan ancaman hukuman mati yang diatur dalam UU, tidak ada alasan bagi aparat penegak hukum untuk ragu dalam menegakkan keadilan. Masyarakat harus terus mengawal kasus ini agar tidak hanya berakhir dengan vonis ringan yang tidak memberikan efek jera bagi pelaku korupsi lainnya.

Skandal korupsi Pertamina ini menjadi bukti nyata bahwa kejahatan di sektor energi masih merajalela. Oleh karena itu, upaya pemberantasan korupsi harus lebih agresif, dengan memastikan bahwa setiap pelaku mendapatkan hukuman setimpal, termasuk hukuman mati bagi mereka yang terbukti memenuhi unsur pidana yang diatur dalam UU Tipikor. LSM PENJARA 1 akan terus mengawal kasus ini hingga vonis yang seadil-adilnya dijatuhkan!

RN/ Nda /red

Pos terkait