refubliknews.com,- Jakarta. – Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Pro Jurnalismemedia Siber (PJS), Angkat bicara atas sebuah Insiden Pencanutan kartu lipuy seorang Wartawan CNN, saya merasa perlu memberikan catatan di awal pekan ini terkait rumor yang beredar bahwa Istana telah mencabut kartu liputan wartawan CNN Indonesia. Reaksi dari berbagai organisasi pers, termasuk Dewan Pers, merupakan tanda keseriusan insiden ini.
Publik berhak bertanya tentang kasus ini. Jika benar, apakah ini tanggapan langsung dari Presiden, ataukah lahir dari ketakutan pihak-pihak tertentu, khususnya Humas di lingkungan Istana?
Ketua DPP PJS Mahmud Marhaba menyampaikan kepada ketua DPC PJS Sibolga-Tapteng Yasiduhu Mendrofa yang Akrab disapa Yasmend melalui chat WhatsApp Pada Senin Pagi, (29/92025) dan Yasmend menyampaikan ke Group DPC PJS Sibolga-Tapteng. Mengatakan kalau Bagi saya, kebebasan pers bukan sekadar jargon, melainkan amanat konstitusional. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi. Pers berfungsi sebagai sarana bagi rakyat untuk memperoleh hak tersebut. Oleh karena itu, pencabutan kartu liputan bukan sekadar urusan administratif, melainkan dapat dipahami sebagai pembatasan hak konstitusional warga negara.
Kartu liputan hanyalah sarana akses, bukan instrumen penghargaan atau hukuman. Jika suatu berita dianggap tidak akurat, mekanismenya jelas. Undang-Undang Pers mengatur hal ini melalui penggunaan hak jawab, hak koreksi, atau pengajuan kepada Dewan Pers. Semua ini merupakan jalur konstitusional dan etis. Menutup akses liputan hanya akan menimbulkan kecurigaan bahwa pemerintah anti-kritik.
Saya ingin mengingatkan kita semua bahwa demokrasi kita hanya akan sehat jika pers secara bebas menjalankan fungsinya sebagai kontrol sosial. Membatasi akses media sama saja dengan menutup ruang kritik. Ini berbahaya, karena media lain dapat mengalami “efek ketakutan” dan memilih keamanan daripada kritik. Kritik yang sehat, bagaimanapun juga, adalah vitamin bagi pemerintah, bukan racun.” Ujar Mahmud.
Oleh karena itu, saya menawarkan solusi sederhana namun mendasar:
- Pemerintah, melalui Istana, perlu mengklarifikasi masalah ini secara terbuka agar publik tidak terjebak dalam spekulasi.
- Jika pencabutan tersebut benar, Presiden harus memastikan apakah itu keputusannya atau sekadar blunder aparat Humas.
- Jalin dialog rutin antara Presiden dan pers untuk menjaga kepercayaan publik terhadap komitmen demokrasi.
- Anggap saja kritik media sebagai refleksi, bukan ancaman.
Saya yakin Presiden tidak pernah alergi terhadap kritik. Namun, jika langkah-langkah pembatasan ini terus berlanjut, citra demokrasi kita yang dibangun dengan susah payah pasca-reformasi akan tercoreng. Di sinilah Presiden akan diuji:, akankah ia teguh dalam melindungi kebebasan pers atau membiarkan demokrasi kita digagalkan oleh ketakutan dari lingkaran dalamnya sendiri?
Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.” Pungkasnya.
Sementara pada kesempatan tersebut Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Pro JurnalisMedia Siber Sibolga-Tapteng Yasiduhu Mendrofa yang Akrab di Sapa Yasmend.” Berharap hal ini dapat klarifikasi yang jelas sehingga tidak mencederai profesional jurnalis.
Kami dari Daerah atau lokal sangat menyayangkan hal demikian. diman kami ikut serta dalam kesedihan yang di lakukan kepada rekan kami di istana presiden. Penuh Harapan semoga hal ini dapat penjelasan yan secepat mungkin untuk bisa para jurnalis khususnya kami lokal tidak merasa dicederai dalam suatu Amanah yang dipercayakan kepada kami. “Pungkas Yasmend.
RN/Sefri F.Siahaan/red