refubliknews.com,- KABUPATEN JEPARA, – Ternyata pelayanan publik di Kabupaten Jepara selama ini tergolong masih buruk dan kembali menjadi sorotan publik setelah warga di diskriminasi, serta indikasi maladministrasi oleh kepala desa.
Bukan sekadar kabar buruk, tetapi potret telanjang tentang rapuhnya tata kelola layanan publik kita.
Di sektor yang seharusnya menjadi benteng terakhir kepercayaan publik, kita justru menyaksikan birokrasi mengalahkan nilai kemanusiaan.
Ketika keadilan dibelenggu oleh kekuasaan, itu artinya ada sesuatu yang sangat keliru dalam cara negara bekerja.
Peristiwa ini melibatkan Muzaini, perwakilan dari keluarga besar ahli waris H. Arifin Bin Suradi (Alm) yang menggambarkan bagaimana sistem pelayanan publik di Desa Rajekwesi, Mayong, Kabupaten Jepara.
Merasa Dipermainkan
Sejak 2023, Muzaini bersama Ubaidur Rohman alias Obet (kakak sepupu) dan Nur Ali (adik kandung almarhum H. Arifin) yang hendak mengurus dokumen administrasi dasar, maupun pendukung lainnya, serta telah mendapatkan perlakuan tidak semestinya.
Selain itu, merasa seakan di diskriminasi karena hak mereka yang tidak dilayani oleh pemerintah desa.
Muzaini mengaku, bahwa dirinya telah mendatangi Kantor Desa Rajekwesi hingga berkali-kali, dan mereka sudah bertemu dengan perangkat desa namun permohonan mereka tetap tidak di gubris.
“Surat keterangan kematian, kehilangan buku nikah, sampai salinan Letter C itu hak kami. Tapi sampai hari ini tetap tidak diberikan,” ujar Muzaini dengan nada kecewa, Senin (01/12/2025).
Hal serupa dialami Obet, ia menceritakan bahwa saat mengurus surat kematian ibunya beberapa waktu lalu, prosesnya sangat mudah cukup mengirim foto KK dan KTP melalui pesan WhatsApp.
Namun, saat mengurus berkas kematian almarhum H. Arifin, persyaratan mendadak berubah total.
Bahkan, ia diminta menghadirkan surat kuasa dari seluruh ahli waris, meski dirinya, Muzaini, dan Nur Ali sudah hadir langsung sebagai ahli waris sah.
Padahal, tidak ada persyaratan dalam regulasi atau SOP di desa setempat.
“Kalau saya ahli waris, surat kematian ibu saya bisa langsung diproses. Tapi untuk almarhum paman saya, kok malah dipersulit. Padahal kami bertiga semua ahli warisnya,” ungkap Obet ketika dimintai keterangannya, Selasa (02/12).
Sementara Nur Ali, selaku adik kandung almarhum mengungkapkan kejanggalan lain.
Ia mengaku pernah menerima surat keterangan kematian, namun nama yang tercantum tidak sesuai dengan dokumen resmi lain.
“Di surat itu tertulis H. Syakur alias H. Ripin Bin Suradi. Padahal, nama almarhum adalah H. Arifin Bin Suradi. Mengapa nama bisa berubah? Ini membingungkan dan merugikan keluarga,” ujarnya.

Disisi lain, Carek atau Sekretaris Desa Rajekwesi, Dien Ilma Mukafa meminta kepada pemohon diwajibkan adanya surat kuasa dari semua ahli waris.
“Sebaiknya ada surat kuasa dari semua ahli waris, baik ahli waris utama maupun ahli waris pengganti. Jika sudah ada tandatangan semua ahli waris ya, datang lagi. Oh ya, besok datang lagi biar bisa ketemu langsung dengan petinggi Legimin,” ucapnya, Kamis (20/11) lalu.
Senada dikatakan Sekdes, Kades Rajekwesi, Legimin Ahmad Muslim menyampaikan, bahwa jika para ahli waris hendak mendapat surat keterangan kematian almarhum H. Arifin harus mengantongi tandatangan kuasa dari seluruh ahli waris.
“Pokoknya harus ada surat kuasa yang di tandatangani semua ahli waris, termasuk semua keponakan tanpa terkecuali,” singkat Legimin di hadapan wartawan, Jumat (21/11).
Fakta Dibalik Peristiwa Penyalahgunaan Wewenang
Keluarga ahli waris menduga ada kepentingan lain di balik sikap Kades Legimin yang dinilai tidak kooperatif.
Dugaan kian menguat setelah munculnya indikasi pemalsuan dokumen kependudukan atas nama Nur Rohma yang mengaku sebagai anak angkat dari almarhum H. Arifin.
Dalam KK dan akta kelahiran miliknya, tercatat ayah bernama H. Arifin (alm) dan ibu bernama Hj. Mariyatun.
Padahal almarhum H. Arifin diketahui tidak memiliki anak. Kasus tersebut kini telah dilaporkan ke Polres Jepara.
Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor: B/89/II/RES.1.9/2024/Reskrim. Sampai saat ini belum ada tindaklanjut kejelasan proses hukumnya.
- Komentar Pusat Studi Politik dan Pemerintahan Indonesia*
Merespon masalah tersebut, Direktur Eksekutif Puspolrindo, Yohanes Oci menilai kasus ini mencerminkan lemahnya tata kelola pelayanan publik di tingkat desa.
Menurutnya, pelayanan administrasi dasar tidak boleh bergantung pada kehendak individual pejabat desa, apalagi sampai menimbulkan dugaan kriminalisasi warga.
“Pelayanan administrasi adalah mandat konstitusi yang harus diberikan secara profesional, transparan, dan tanpa diskriminasi. Apabila ini terjadi, maka ini menunjukkan kegagalan fungsi pemerintahan desa dalam menjalankan kewajibannya,” tegas Yohanes Oci.
Ia menambahkan bahwa kepala desa memiliki tanggung jawab langsung untuk memastikan setiap prosedur administrasi berjalan sesuai aturan dan tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu.
“Ketika masyarakat dipersulit dalam hal yang sebenarnya sederhana, maka ada masalah serius pada integritas dan kompetensi penyelenggara pemerintahan. Negara harus hadir, maka Ombudsman dan aparat penegak hukum, untuk memastikan tidak ada penyalahgunaan kewenangan,” ujarnya.
Yohanes menegaskan bahwa pelayanan publik bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan wujud nyata kehadiran pemerintah bagi masyarakat.
“Kepala desa harus ingat bahwa jabatan publik bukan ruang untuk mempermainkan hak warga. Pelayanan yang bersih, cepat, dan akuntabel adalah kewajiban, bukan pilihan,” tutupnya.
Sumber : Baretta FWJI Jakarta Utara
RN/ Sulaeman /red






