refubliknews.com, || Jakarta Sebagian penduduk Indonesia masih mengalami kemiskinan. Badan Pusar Statistik (BPS) mencatat, angka kemiskinan Indonesia per Maret 2025 berada di 8,47% atau setara dengan 23,85 juta penduduk. Meski angka ini terendah sejak krisis 1998, laju penurunan mulai melambat.
Pemerintah menargetkan penghapusan kemiskinan ekstrem hingga 0% pada 2026.
Pengertian kemiskinan ekstrem, mengutip dari BPS, adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.
Seseorang dikategorikan miskin ekstrem, masih menurut data BPS Tahun 2021, jika pengeluarannya di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan. Misalnya, dalam 1 keluarga terdiri dari 4 orang (ayah, ibu, dan 2 anak), dikategorikan miskin eksterm jika pengeluarannya setara atau di bawah Rp1.288.680 per bulan.
Upaya mewujudkan target pemerintah – kemiskinan ekstrem nihil di tahun 2026 – menuntut kerja sama lintas sektoral.
Salah satunya dielaborasikan Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) yang berkolaborasi dengan Universitas Indonesia (UI) melalui Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan (SPPB) menggelar seminar nasional bertema ‘Ketahanan Pangan sebagai Pilar Pengentasan Kemiskinan Berbasis Kearifan Lokal.’
Seminar berlangsung di Auditorium Kampus Salemba, Jakarta, Jumat (21/11), dan menjadi bagian dari rangkaian Dies Natalis Program Studi Ketahanan Nasional.
Seminar menjadi wadah strategis untuk mempertemukan gagasan, pengalaman, dan praktik terbaik dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Tema yang diangkat mencerminkan urgensi, bagaimana ketahanan pangan, yang selama ini dianggap isu teknis, sesungguhnya menjadi fondasi bagi kesejahteraan dan ketahanan nasional.
Wakil Kepala BP Taskin, Iwan Sumule, menegaskan bahwa pengentasan kemiskinan tidak bisa hanya mengandalkan bantuan sosial.
“Kami mengusung pendekatan graduasi kemiskinan, yang tidak hanya memberi bantuan, tetapi membekali masyarakat agar mandiri,” ujarnya.
Menurut Iwan, pendekatan ini mencakup empat pilar, yakni pemenuhan kebutuhan dasar, penciptaan pendapatan, pemberdayaan, dan peningkatan tabungan/investasi.
Salah satu topik yang mengemuka dalam seminar adalah pemanfaatan kearifan lokal dalam menciptakan ketahanan pangan.
Indonesia memiliki kekayaan kearifan lokal. Sistem Subak di Bali, misalnya, bukan sekadar teknologi irigasi, tetapi filosofi hidup berbasis harmoni.
Dari Kabupaten Solok, Sumatera Barat, praktik persawahan tradisional, penyimpanan pangan, dan kuliner fermentasi seperti dadiah menjadi contoh bagaimana nilai budaya dapat menopang ketahanan pangan. “Kearifan lokal bukan hanya tradisi, tetapi modal sosial dan ekologis yang terbukti tangguh menghadapi krisis,” ujar Bupati Solok, Jon Firman Pandu.
Seminar juga menghadirkan pembicara pakar ketahanan pangan UI yang membahas seputar tantangan pertanian modern, strategi berbasis kearifan lokal, hingga perspektif ekonomi Pancasila dalam sistem pangan.
Melalui event ini, Iwan Sumule berharap lahir rekomendasi kebijakan dan jejaring kolaboratif untuk memperkuat ketahanan pangan sebagai pilar pengentasan kemiskinan.
‘ Kami ingin hasil seminar ini menjadi rujukan nyata bagi pemerintah dan masyarakat,” harapnya.
RN/Gusdin /red






