refubliknews.com,- Bogor, 18 Januari 2024 – Indonesia Business Post menggelar pelatihan jurnalisme bertema “ Understanding Carbon Capture and Storage (CCS) ” pada hari Sabtu 18 Januari 2025 hingga Minggu 19 Januari 2025 di Swiss-Belhotel Bogor. Acara ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman wartawan tentang teknologi CCS, yang menjadi bagian penting dari strategi Indonesia mencapai Net Zero Emissions pada 2060.
Kegiatan ini dihadiri oleh 30 peserta yang merupakan wartawan profesional, khususnya yang biasa meliput, menulis dan melaporkan issue-issue energi. Beberapa pembicara kunci dari pemerintah dan akademisi seperti Farah Heliantina, Asisten Deputi Transisi Energi pada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Dr. Firera, Vice President Business Support and Lead of Carbon, SKK Migas; Mamik Cahyono dari Dirjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bobby Permanahadi dari Dirjen Migas, Kementerian ESDM; dan Dr. Mohammad Rachmat Sule dari Institut Teknologi Bandung.
Pelatihan ini akan berlangsung selama dua hari, membahas berbagai topik termasuk dasar-dasar CCS, dampak teknologi tersebut terhadap lingkungan, tantangan implementasi di Indonesia, serta kerangka regulasi yang mendukung proyek CCS.
“Dengan pelatihan ini, kami berharap jurnalis Indonesia dapat melaporkan topik CCS dengan lebih akurat dan mendalam, sehingga dapat mendukung kesadaran publik dan kebijakan terkait,” ujar Anelis Putri, Direktur Utama Indonesia Business Post Media Group, Sabtu 18 Januari 2025 di Bogor.
Pelatihan ini sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024 yang menetapkan pedoman penerapan teknologi CCS di Indonesia. Wartawan yang mengikuti pelatihan ini diharapkan dapat menjadi komunikator yang efektif dalam menyampaikan manfaat dan tantangan CCS kepada masyarakat luas.
Pentingnya Peran CCS dalam Ekonomi Indonesia
Dalam pidato kunci pada acara pelatihan jurnalistik tersebut, Farah Heliantina, menekankan pentingnya teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dalam mendukung transisi energi dan ekonomi Indonesia.
Farah menjelaskan bahwa CCS merupakan langkah krusial dalam mengelola dan mengurangi emisi karbon dari industri yang menggunakan energi intensif seperti semen, baja, dan petrokimia.
“Dengan menerapkan CCS, kita tidak hanya melindungi lingkungan tetapi juga menciptakan ketahanan ekonomi,” ujar Farah.
Indonesia memiliki potensi geologi yang besar untuk pengembangan CCS, seperti di Cekungan Sunda-Asri, yang dapat menarik investasi hijau signifikan dan mendukung pengembangan energi terbarukan secara masif.
Farah juga menyebutkan bahwa integrasi CCS akan menciptakan lapangan kerja baru, mendorong inovasi, dan meningkatkan daya tarik investasi.
“Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat adalah kunci untuk mempercepat transisi energi yang berkelanjutan,” tambahnya.
Pemerintah Indonesia, melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC), berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89% pada tahun 2030 dan mencapai Net-zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat.
Bogor Teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) diharapkan menjadi solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dari sektor-sektor industri yang sulit dikurangi.
Dr. Belladonna Troxylon Maulianda, Direktur Eksekutif Indonesia CCS Center (ICCSC), menyatakan bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai hub regional CCS di Asia Tenggara.
“Dengan kapasitas penyimpanan karbon hingga 600 gigaton dan lokasi strategis, Indonesia memiliki daya tarik investasi yang kuat dalam pengembangan teknologi CCS,” ujarnya dalam pelatihan jurnalistik tentang CCS di Bogor, Sabtu (18/1).
Saat ini, terdapat 15 proyek CCS yang sedang dikembangkan di Indonesia dengan total investasi sekitar USD 28 miliar. Proyek-proyek ini mencakup berbagai sektor seperti kilang, petrokimia, dan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Beberapa proyek utama, termasuk kerjasama lintas negara dengan Singapura, menunjukkan komitmen Indonesia untuk mempercepat transisi energi.
Dr. Maulianda menekankan pentingnya kerangka regulasi yang mendukung pengembangan CCS, termasuk Perpres No. 14/2024 tentang Penyelenggaraan CCS dan pengadopsian standar internasional ISO/TC 265 sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI). Regulasi ini mencakup operasional penyuntikan karbon, kegiatan lintas batas, hingga sistem pelaporan dan verifikasi (MRV) yang detail.
Namun, tantangan tetap ada, seperti kebutuhan akan investasi lebih lanjut, infrastruktur transportasi karbon, dan peningkatan kesadaran publik. Media massa diharapkan memainkan peran penting dalam menyebarluaskan informasi mengenai pentingnya CCS sebagai bagian dari transisi energi berkelanjutan.
Dengan kombinasi inovasi teknologi, kerjasama lintas sektor, dan regulasi yang kuat, Indonesia berkomitmen untuk memimpin upaya dekarbonisasi di kawasan Asia Tenggara.
Percepatan implementasi CCS
Firera, VP Business Support and Lead of Carbon SKK Migas, mengatakan Pemerintah Indonesia terus memperkuat upaya pengurangan emisi karbon melalui penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) di sektor hulu minyak dan gas. Teknologi ini diharapkan berkontribusi signifikan terhadap target Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Menurut data SKK Migas, sejumlah proyek CCS/CCUS sedang dikembangkan, termasuk CCS Abadi di Blok Masela dengan kapasitas penyimpanan karbon mencapai 3 gigaton CO2 dan CCUS Ubadari dengan kapasitas 1,8 gigaton CO2. Keduanya dijadwalkan mulai beroperasi pada 2030 dan 2029. Proyek lainnya seperti CCUS Sukowati, Jatibarang, dan Gemah juga dalam tahap studi lanjutan untuk mendukung pengurangan emisi dari sektor energi.
Hingga kini, Indonesia telah menetapkan kerangka regulasi, termasuk Perpres No. 14 Tahun 2024 yang memberikan landasan hukum untuk pelaksanaan CCS/CCUS, serta Panduan Kerja SKK Migas No. PTK-070/2024 yang mengatur pelaksanaan teknologi ini di wilayah kerja kontraktor.
Tantangan utama dalam implementasi CCS/CCUS di Indonesia meliputi biaya investasi yang tinggi, perlu adanya izin lingkungan, serta kebutuhan koordinasi lintas instansi. Selain itu, kesadaran publik dan dukungan masyarakat terhadap teknologi ini perlu ditingkatkan guna memastikan keberhasilan jangka panjang.
Dengan potensi penyimpanan karbon yang diperkirakan mencapai 577,77 gigaton CO2, Indonesia berambisi menjadi pusat pengembangan CCS regional di Asia Tenggara. Langkah ini diharapkan tidak hanya mendukung target emisi nasional, tetapi juga menarik investasi berkelanjutan dan menciptakan nilai ekonomi di sektor energi.
Regulasi terkait CCS
Pemerintah Indonesia telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 Tahun 2024 yang mengatur penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) sebagai bagian dari upaya mengurangi emisi karbon nasional.
Perpres ini mengatur berbagai aspek, mulai dari izin eksplorasi, izin operasi penyimpanan, hingga ketentuan perpajakan dan insentif ekonomi terkait CCS. Dalam aturan tersebut, kapasitas penyimpanan karbon akan dialokasikan 70% untuk kebutuhan domestik dan 30% untuk luar negeri, khususnya untuk investasi dan afiliasi investor asing.
“Pelaksanaan CCS ini diharapkan dapat mengurangi emisi dari industri yang menggunakan energi intensif dan meningkatkan daya saing global,” ujar Mamik Cahyono dari Ditjen Migas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) .
Selain itu, Perpres No. 14/2024 juga mencakup mekanisme pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV) emisi karbon yang tersimpan, serta penetapan sanksi administratif bagi pelanggaran izin. Pemerintah menegaskan bahwa CCS akan menjadi salah satu solusi utama untuk mendukung target net zero emissions pada tahun 2060.
Selain itu Kementerian ESDM telah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM No. 2 Tahun 2023 yang mengatur penyelenggaraan Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) dalam kegiatan usaha hulu minyak dan gas bump.
Regulasi ini mencakup seluruh aspek teknis, hukum, dan ekonomi CCS/CCUS, mulai dari penangkapan, pengangkutan, penginjeksian, hingga penyimpanan karbon. Kontraktor yang terlibat diwajibkan menyertakan rencana CCS/CCUS dalam Plan of Development (POD) mereka.
“CCS/CCUS akan menjadi bagian integral dari operasi perminyakan dan diharapkan mampu mengurangi emisi karbon secara signifikan,” tambah Mamik Cahyono.
Peraturan ini juga memperkenalkan mekanisme kerja sama antara kontraktor dan pihak ketiga, serta pengaturan pengawasan dan penegakan sanksi administratif untuk memastikan pelaksanaan yang sesuai dengan standar keselamatan dan lingkungan.
Acara pelatihan jurnalisme ini didukung oleh ExxonMobil Indonesia, bp Indonesia, Pertamina, PLN, Medco Energy International, Indonesia CCS Center dan SKK Migas.
RN/ Gusdin /red