Petani dan Rakyat Kepung Gedung MPR/DPR RI dan Aksi Serentak di Berbagai Wilayah*

refubliknews.com,
Jakarta,-
Memperingati Hari Tani Nasional (HTN) 2022 dan 62 tahun kelahiran Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), kami sekitar 130 organisasi dari Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA), aliansi yang terdiri dari organisasi petani, organisasi buruh, organisasi lingkungan, masyarakat adat, nelayan, masyarakat miskin kota, perempuan, pemuda dan mahasiswa akan melaksanakan Aksi Hari Tani Nasional (HTN) 2022 pada Hari Selasa, 27 September 2022 di Gedung MPR/DPR RI, Senayan, Jakarta. Teman HTN tahun ini adalah “TEGAKKAN KONSTITUSIONALISME AGRARIA UNTUK KEDAULATAN DAN KESELAMATAN RAKYAT.”

Lima ribu massa petani dan gabungan elemen rakyat dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Banten dan Lampung akan bergabung pada puncak Peringatan HTN besok. Massa aksi tani terdiri dari Serikat Petani Pasundan (SPP), Serikat Tani Indramayu (STI), Serikat Petani Majalengka (SPM) dari Jawa Barat, Pergerakan Petani Banten (P2B), Forum Perjuangan Petani Batang (FPPB), STAM Cilacap, dan STIP Pemalang dari Jawa Tengah, serta Formaster dari Provinsi Lampung. Senin (26/9/22).

Pada hari yang sama, sebagai puncak peringatan HTN, aksi juga akan dilakukan secara serentak di Sumatera Utara, Jambi, Riau, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, NTB, dan NTT. Dalam rangkaian aksi di daerah ini, KNPA bekerjasama dengan aliansi-aliansi di daerah di berbagai provinsi seperti APARA, GESTUR, GERAK, ARB, dll. Sebelumnya, tepat pada 24 September kemarin, peringatan HTN telah diperingati secara serentak oleh organisasi-organisasi rakyat di 28 titik di berbagai provinsi dan kabupaten.

Wujud konstitusionalitas petani dan seluruh rakyat Indonesia atas sumber-sumber agraria yang telah diterjemahkan oleh para pendiri bangsa melalui Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Konstitusi mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalammnya dikuasai Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Terjemahan konstitusionalisme agraria lebih lanjut diatur dalam UUPA 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunannya, hingga semua tanah di seluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royang. Model ekonomi yang dimandatkan UUPA haruslah diselenggarakan dalam semangat koperasi atau bentuk badan usaha rakyat lainnya yang bersifat gotong-royong. Bukankan ekonomi liberal yang mengabdi pada segelitir elit bisnis dan politik.

Selanjutnya, mandat tersebut juga diatur melalui TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumberdaya Alam. Dimana ketetapan ini, MPR menugaskan DPR RI dan Presiden menetapkan arah dan kebijakan agraria yang sesuai dengan amanat konstitusi dan UUPA 1960. Ketetapan ini juga memberikan hak kepada MPR RI untuk melakukan evaluasi dan pertanggungjawaban DPR dan Presiden RI atas pelaksanaan reforma agraria.

Akibat enam dekade UUPA 1960 dan dua dekade TAP MPR tidak dijalankan secara penuh dan konsekuen, ekonomi-politik agraria kita menjadi semakin liberal, menghasilan krisis agrarian dan kerusakan lingkungan yang semakin memburuk.

Tidak mengherankan, selama 17 tahun terakhir (2004-2021), 3.874 letusan konflik agraria di berbagai penjuru tanah air. Berbanding terbalik dengan jumlah konfik yang mampu diselesaikan pemerintah. Ribuan kasus penangkapan petani, masyarakat adat, nelayan, buruh dan aktivis agraria terus terjadi. Penggusuran kampung dan tanah pertanian rakyat demi mega proyek pembangunan infrastruktur, food estate, pariwisata premium, bisnis tambang dan sawit terjadi di berbagai pelosok negeri.

Korupsi dan kolusi agraria akibat bekerjanya mafia tanah dan birokrat rente juga tidak kalah kronisnya di Indonesia. Selama berpuluh tahun Pemerintah terus-menerus membiarkan adanya tumpang tindih perkebunan, kehutanan dan tambang dalam satu wilayah.

Celakanya, demi memuluskan laju investasi yang lapar tanah, konflik agrarian dan perampasan tanah kini telah dilindungi oleh hukum melalui UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan 20 lebih PP turunannya terkait agraria-SDA. Inkonstitusionalitas melalui produk-produk hukum liberal terus dijalankan. Kami mencatat, setidaknya sampai dengan detik ini terdapat ratusan peraturan perundang-undangan di bidang agrarian-SDA yang meliputi 93 UU, 140 PP, 20 Perpres dan 140 Permen yang saling tumpang-tindih dan bertentangan satu-sama lain. Pada ujungnya melabrak Konstitusi dan UUPA.

Kebijakan dan praktek-praktek inkonstitusional agraria di atas disebabkan oleh orientasi ekonomi politik yang tidak lain mengabdi pada kapitalisme. Pada akhirnya orientasi melayani kepentingan para pemilik modal terhadap SSA kita telah melahirkan jutaan problem agraria struktural yang kronis dan berkepanjangan berupa ketimpangan penguasaan tanah, konflik agraria, kemiskinan yang dialami rakyat, baik di pedesaan maupun di perkotaan.

Demikianlah, inkonstitusionalime agraria berjalan tanpa hambatan. Ternyata wajah buruk politik agraria tidak hanya terjadi di masa Kolonialisme dan ORBA, tetapi “keterlanjuran” politik agraria liberal-kapitalistik ini diterus-teruskan hingga Reformasi saat ini. Pengalaman pahit ketimpangan agraria dan kemiskinan akibat tiga setengah abad kolaborasi kolonialisme dan feodalisme, serta 32 tahun ORBA berkuasa ternyata tidak menghasilkan efek jera bagi para elit penguasa sekarang ini untuk mengembalikan cita-cita berbangsa dan bernegara dengan menegakkan konstitusionalitas rakyat atas tanah dan wilayah hidupnya.

Tragisnya, situasi ini berjalan tanpa adanya usaha evaluasi menyeluruh dan tuntutan pertanggungjawaban dari MPR/DPR RI kepada Presiden atas penyimpangan demi penyimpangan terhadap konstitusionalisme Agraria. Pencabutan subsidi BBM bagi rakyat di tengah tetap berjayanya proyek-proyek megah PSN hanya memperburuk situasi petani dan seluruh lapiran masyarakat kelas bawah.

Sebab itu, untuk memperingati HTN 2022 dan 62 tahun diundangkannya UUPA 1960, kami Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) hendak menuntut dan menyampaikan aspirasi kepada MPR RI untuk melakukan evaluasi menyeluruh dan meminta pertanggungjawaban Presiden RI atas penyimpangan terhadap Konstitusionalisme Agraria yang menjadi mandat UUD 1945 dan UUPA 1960. Termasuk kegagalan pelaksanaan Reforma Agraria selama 8 (delapan) tahun terakhir pemerintahan ini berjalan.

Kami mengundang rekan-rekan media massa dan jurnalis untuk dapat meliput Aksi Hari Tani Nasional (HTN) 2022 pada Hari Selasa (besok), 27 September 2022.

Kami juga menyerukan kepada seluruh elemen rakyat di Jakarta dan berbagai daerah agar bergabung bersama barisan kaum tani menuntut penegakkan mandat konstitusional atas sumber-sumber agraria dan pelaksanaan Reforma Agraria Sejati.

RN/Umayah Handayani/red

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *