refubliknews.com, – Jakarta – Kendati tak bisa dibandingkan satu kasus dengan lainnya, proses praperadilan terhadap Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada November 2024 lalu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) tetap menarik diperbincangkan. Jampidsus melawan Thomas Trikasih Lembong sedangkan KPK melawan Shabirin Noor. Jampidsus menang tetapi KPK kalah. Perlukah KPK studi banding ke Kejagung?
Sahbirin Noor yang menjadi lawan KPK adalah Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel). Sahbirin Noor atau Paman Birin mempraperadilankan KPK atas status tersangkanya setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 6 Oktober 2024. Berjarak 5 hari dari penangkapan itu, Paman Birin mendaftarkan praperadilan pada 10 Oktober di PN Jaksel. Kendati Paman Birin mendaftarkan gugatan praperadilan itu, KPK terus mengumpulkan bukti dengan memeriksa 17 saksi hingga 31 Oktober 2024. Sidang praperadilan untuk Paman Birin itu berlangsung hingga 12 November 2024 yang pada akhirnya majelis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menerima permohonannya. Sehari berselang putusan praperadilan itu, Paman Birin mengundurkan diri sebagai Gubernur Kalsel kendati masih menyisakan masa jabatannya.
Sementara itu Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong yang menjadi lawan Jampidsus adalah mantan Menteri Perdagangan periode 2015-2016. Ia ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi importasi gula periode 2015-2016. Tom Lembong melawan dengan mengajukan praperadilan pada 5 November 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Selama persidangan itu, kuasa hukum Tom Lembong berupaya membuktikan ada kesalahan prosedur dalam penetapan tersangka kasus dugaan korupsi importasi gula. Salah satu yang ingin dibuktikan kuasa hukum Tom Lembong terkait perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus itu.
Soal ini, Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017 memutus demi kepastian hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, maka terlebih dulu harus membuktikan adanya kerugian keuangan negara sebelum dilakukan penyidikan perkara korupsi. Selanjutnya, unsur merugikan keuangan atau perekonomian negara tidak lagi dipahami sebagai perkiraan (potential loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata (actual loss).
Namun, menurut pengamat hukum pidana dari UPN Veteran Jakarta, Beni Harmoni Harefa, hal terpenting adalah membuktikan perbuatan niat jahatnya. Hal tersebutlah yang ingin ditunjukkan kuasa hukum Tom Lembong bahwa penyidik pada Jampidsus, Kejagung belum ada kerugian keuangan negara dalam kasus itu dan tak ada niat jahat Tom Lembong dalam membuat kebijakan importasi gula periode 2015-2016.
Akan tetapi, kuasa hukum Tom Lembong lupa bahwa untuk menetapkan seseorang tersangka merujuk KUHAP setidak-tidaknya adanya bukti permulaan yang cukup atau 2 alat bukti yang sah. Dalam sidang praperadilan penyidik Jampidsus mampu membuktikan alat bukti untuk menetapkan Tom Lembong sebagai tersangka justru sudah melebihi dari ketentuan sebagaimana yang tertuang dalam KUHAP. Berdasarkan itu pula, hakim tunggal pada PN Jakarta Selatan, Tumpanuli Marbun, menolak permohonan praperadilan Tom Lembong.
Atas dasar fakta itu, maka penting mendiskusikan proses dan hasil praperadilan terhadap KPK dan Jampidsus pada Kejagung. Apalagi perbedaan kedua kasus yang dimohonkan itu sangat berbeda dalam penanganannya. Kasus yang ditangani KPK berdasarkan OTT, sementara penyidik Jampidsus membangun dari awal kasus yang mendera Tom Lembong itu. Tentu saja membangun kasus dari awal itu jauh lebih sulit ketimbang mengandalkan OTT yang selalu berdasarkan pengintaian dan penyadapan.
Membangun kasus dari awal itu membutuhkan pemahaman hukum khususnya tindak pidana korupsi yang tinggi. Apalagi tindak pidana korupsi selalu pula melibatkan mereka yang disebutkan sebagai penjahat kerah putih atau orang-orang cerdas yang kerap memegang kekuasaan atau jabatan tertentu dalam pemerintahan.
Berdasarkan hal itu, penyidik KPK penting untuk belajar dari Jampidsus Kejagung terkait menangani kasus tindak pidana korupsi agar tak mudah kalah ketika digugat praperadilan. KPK – kendati punya kewenangan supervisi – sebenarnya tidak perlu malu untuk studi banding ke Jampidsus Kejagung untuk belajar mempertahankan argumentasi dalam menghadapi praperadilan. Itu sebabnya, penting mendiskusikan hal tersebut terutama dalam rangka menyiapkan roadmap atau peta jalan pemberantasan korupsi di negeri ini ke depannya.
KPK Mesti Berbenah
Praperadilan memang bukan arena untuk membuktikan bersalahnya seorang tersangka. Sebab domain praperadilan adalah menguji syarat formil bukan materiil yang masuk pokok perkara. Itu sebabnya praperadilan lebih tepat menguji profesionalitas penyidik dalam menangani perkara.
Pada 2024 ini, suka tidak suka, mungkin bisa disebut penurunan paling buruk KPK sepanjang sejarahnya. Maklum, berdasarkan catatan keadilan.id, selama 2024 ini KPK tercatat kalah dalam tiga praperadilan.
Kekalahan pertama KPK pada 2024 terjadi ketika melawan Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej pada 30 Januari 2024. Status Eddy sebagai tersangka akhirnya gugur. Tragisnya, KPK pun tak melawan dengan mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru.
Kekalahan kedua KPK adalah saat melawan Direktur PT Citra Lampia Mandiri, Helmut Hermawan, pada 27 Februari 2024. Sama seperti Eddy, KPK tak melawan putusan praperadilan yang menggugurkan status tersangka Helmut tersebut dengan Sprindik baru.
Kekalahan ketiga KPK lebih tragis. Kalah dalam melawan Gubernur Kalsel Sahbirin Noor dalam perkara Operasi Tangkap Tangan (OTT) suap, 12 November 2024 lalu. Mengapa tragis, karena pembuktian OTT jauh lebih mudah dibandingkan penyidikan biasa. Setidaknya itu pernah disampaikan pimpinan KPK beberapa waktu lalu mengapa mereka belakangan jarang melakukan OTT.
Tiga kekalahan pada 2024 ini merupakan kekalahan terbesar KPK dalam satu tahun sepanjang sejarah. Setidaknya dihitung dari sejarah kekalahan pertama KPK pada Februari 2015 lalu melawan Budi Gunawan.
Berdasarkan catatan keadilan.id, dari 10 total kekalahan KPK di sidang praperadilan, paling banyak dalam setahun KPK hanya kalah dua kali. Diantaranya melawan pada 2016 dan 2017.
Pada 2016, KPK kalah melawan Dirjen Pajak Hadi Poernomo dan Bupati Sabu Raijua Marthen Dira Tome. Sedangkan pada 2017 KPK kalah melawan Bupati Nganjuk Taufiqurrahman dan eks Ketua DPR Setya Novanto. Dua kekalahan lainnya, melawan Eks Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajudin dan Direktur PT Loco Montrado, Siman Bahar, terjadi di tahun berbeda.
Kekalahan terburuk KPK pada 2024 ini berbanding terbalik dengan Jampidsus. Sampai 7 Desember 2024, saat keadilan.id merangkum data melalui sistem pencarian di laman google, Jampidsus Kejagung tak pernah diberitakan kalah dalam praperadilan.
Metode pencarian serupa hanya mememukan data bahwa
Jampidsus Kejagung pernah mengalami kekalahan buruk praperadilan pada 2016. Yaitu kekalahan Jampidsus Kejagung melawan mobile-8 dan PT Victor Securitas Indonesia (VSI). Pada tahun itu KPK juga kalah dua kali di praperadilan.
Metode pencarian laman google hanya menemukan kekalahan Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi. Namun data ini tentu tidak aple to aple dengan KPK karena KPK tak memiliki cabang di provinsi dan kabupaten/kota.
Kondisi ini tentu harus dijawab KPK dengan berbenah. Setidaknya itu dikatakan pakar hukum Universitas Pancasila, Prof Agus Surono, kepada keadilan.id, beberapa waktu lalu.
Apa yang dikatakan Agus Surono ada benarnya. Saat Jampidsus membaik di era Jaksa Agung ST Burhanuddin, KPK justru menurun. Padahal dua lembaga ini diharapkan menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi.
RN/agus/red